Jumat, 30 April 2021

Konsep Dasar Metode Flipped Classroom

Pendahuluan

Belajar adalah tentang bagaimana menciptakan pengalaman bermakna bagi peserta didik untuk dapat menimba ilmu. Menciptakan pengalaman bermakna meliputi tiga hal, yaitu (1) menciptakan ekosistem untuk mau belajar, (2) menciptakan pengalaman yang kontekstual, (3) menciptakan rasa keingintahuan yang besar (curiousity). Dalam menunjang hal tersebut, maka metode pengajaran harus diselarakan dengan generasi yang dihadapi saat ini, yang dikenal dengan istilah Generasi Z. yaitu mereka yang lahir di atas tahun 1995 (Subandowo 2017).

Generasi Z merupakan generasi yang menyaksikan periode kemakmuran ekonomi yang tidak setara dengan generasi masa lalu mereka. Perubahan besar telah terjadi dalam kesetaraan gender, transformasi baru dalam rasio ketergantungan dan, struktur kelas sosial yang sedang berubah (Tung and Comeau, 2014). Generasi ini sangat dekat dengan teknologi dan secara usia sedang mempersiapkan diri memasuki dunia kerja, yaitu dengan menempuh proses belajar pada tingkat Perguruan Tinggi atau bahkan ada yang sudah bekerja sebagai pekerja junior. Menyikapi karakterstik generasi Z, yang merupakan usia para mahasiswa saat ini, maka menjadi pengajar di era sekarang dituntut untuk tidak hanya memiliki PCK (Pedagogical Content Knowledge) yaitu konsep yang pertama kali dikenalkan oleh Shulman (1986) sebagai acuan pengetahuan dan skill dasar yang harus dimiliki oleh seorang pengajar. Namun, selain PCK, dibutuhkan juga satu aspek tambahan yaitu technological knowledge. Hal tersebut sedikit mengubah konsep PCK menjadi TPACK (Technology Pedagogical Content Knowledge) seperti digambarkan pada Gambar 1 berikut (Mishra and Koehler, 2006).

Definisi masing-masing komponen pada TPACK dijelaskan pada Tabel 1 berikut

Aspek penggunaan teknologi menjadi hal mendasar yang perlu diperhatikan oleh pengajar di era sekarang, namun itu bukanlah segalanya, teknologi merupakan alat yang dapat dimanfaatkan untuk menciptakan pengalaman bermakna dalam proses belajar mengajar. Hal tersebut dapat dilaksanakan dengan menerapkan konsep flipped classroom. Menurut Bergmann & Sam (2012) metode flipped classroom adalah pendekatan pedagogis inovatif yang berfokus pada pengajaran yang berpusat pada peserta didik dengan membalik sistem pembelajaran kelas tradisional yang selama ini dilakukan oleh pengajar. Metode flipped classroom ini memang memiliki banyak manfaat (McLaughlin et al, 2014), seperti mahasiswa akan memiliki opini positif dan terbuka pada pengetahuan baru, lebih aktif, lebih mandiri dan kreatif serta lebih kritis menyikapi permasalahan kasus tertentu.

Konsep implementasi metode Flipped Classroom

Flipped Classroom adalah bentuk pembelajaran blended (melalui interaksi tatap muka dan virtual/online) yang menggabungkan pembelajaran sinkron (synchronous) dengan pembelajaran mandiri yang askinkron (asynchronous). Pembelajaran sinkron biasanya terjadi secara real time di kelas. Peserta didik berinteraksi dengan seorang pengajar dan teman sekelas serta menerima umpan balik pada saat yang sama. Sedangkan, pembelajaran asinkron adalah pembelajaran yang sifatnya lebih mandiri. Konten biasanya diakses melalui beberapa bentuk media pada platform digital. Peserta didik dapat memilih kapan mereka belajar dan juga mereka dapat mengajukan pertanyaan di kolom komentar, serta berbagi ide atau pemahaman mereka tentang sebuah materi dengan penngajar atau teman sekelas. Sedangkan, umpan balik akan diterima mereka tidak pada saat yang sama.

Video adalah media yang sering digunakan sebagai input untuk belajar mandiri karena dapat diakses dan memungkinkan siswa untuk berhenti dan menonton kembali konten sesuai kebutuhan. Teks dan audio juga dapat digunakan sebagai konten untuk menyampaikan materi dan memastikan siswa sepenuhnya siap untuk kelas sinkron. Berikut adalah gambaran konsep pelaksanaan flipped classroom.

Gambar 2. Konsep pelaksanaan Flipped Classroom (sumber: literasidigital.com)

Metode flipped classroom, dibagi menjadi tiga kegiatan yaitu, sebelum kelas dimulai (pre-class), saat kelas dimulai (in-class) dan setelah kelas berakhir (out of class). Sebelum kelas dimulai, peserta didik sudah mempelajari materi yang akan dibahas, dalam tahap ini kemampuan yang diharapkan dimilki oleh peserta didik adalah mengingat (remembering) dan mengerti (understanding) materi. Dengan demikian pada saat kelas dimulai peserta didik dapat mengaplikasikan (applying) dan menganalisis (analyzing) materi melalui berbagai kegiatan interaktif di dalam kelas, yang kemudian dilanjutkan dengan mengevaluasi (evaluating) dan mengerjakan tugas berbasis project tertentu sebagai kegiatan setelah kelas berakhir (creating).

Rangkaian proses di atas merupakan kaitan flipped classroom dengan Bloom’s Taxonomy yang dijelaskan pada Gambar 3 di bawah ini. Terdapat beberapa bagian yaitu Remembering, Understanding, Applying, Analyzing, Evaluating and Creating yang terbagi pada tiga kegiatan yaitu sebelum, pada saat dan sesudah kelas.

Gambar 3. Hubungan Bloom’s Taxonomy dan Flipped Classroom

Manfaat dan tantangan metode Flipped Classroom

Metode flipped classroom membawa dampak yang terasa bagi pengajar maupun peserta didik baik secara langsung maupun tidak langsung. Terdapat beberapa manfaat yang ditawarkan oleh metode Flipped Classroom ini. Berikut adalah beberapa manfaat dari metode ini:

1. Mengubah peran pengajar dan peserta didik

Salah satu manfaat utama dari metode flipped classroom adalah memberi peserta didik lebih banyak tanggung jawab untuk pembelajaran mereka sendiri. Di luar kelas, peserta didik dapat belajar secara mandiri sesuai dengan kemampuan mereka sendiri untuk dapat menyerap ilmu. Mereka dapat mengatur waktu ataupun tempat yang paling nyaman untuk mereka belajar. Mereka juga dapat mengulang apabila ada materi yang masih mereka belum pahami. Oleh sebab itu pembelajaran menjadi lebih berpusat pada peserta didik (students-centered learning). Selain itu, flipped classroom memungkinkan pengajar untuk mendedikasikan lebih banyak waktu di kelas untuk kegiatan pembelajaran yang menarik dan interaktif atau proyek yang sifatnya lebih menekankan pada praktik.

2. Pembelajaran dapat disesuaikan dengan kebutuhan masing-masing peserta didik

Dengan lebih banyak waktu yang dihabiskan untuk praktik di kelas kegiatan proyek, pengajar memiliki lebih banyak kesempatan untuk mengamati siswa mereka dalam memahami suatu materi, serta dapat mengidentifikasi kekuatan dan kelemahan mereka. Pada kelas tradisional, fokus pengajar akan berpusat pada peserta didik yang aktif dan selalu merespon pertanyaan pengajar. Sedangkan, mereka yang pasif dan kurang memahami materi akan sulit mengejar ketertinggalan. Pada metode flipped classroom, pengajar akan lebih fokus pada peserta didik yang mengalami kesulitan sedangkan peserta didik yang dapat menerapkan materi dengan baik diminta untuk bekerja secara mandiri atau membantu temannya yang masih mengalami kesulitan dalam memahami materi atau diesebut juga sebagai peer-tutoring. Hal ini dapat memastikan pelajaran dipersonalisasi dan tugas dibedakan untuk setiap peserta didik.

3. Peserta didik memiliki kepercayaan diri dan keterlibatan dalam pembelajaran lebih tinggi

Peserta didik lebih banyak mengambil tanggung jawab untuk pembelajaran mereka sendiri, sehingga mereka dapat mengembangkan keterampilan belajar individual yang lebih efektif. Ketika menghadapi suatu masalah dalam proses belajar, mereka harus mencari solusi dan menyelesaikan masalah tersebut secara independen. Kemandirian ini dapat menyebabkan peningkatan kepercayaan diri di kelas yang dapat berdampak positif pada tingkat keterlibatan peserta didik yang lebih tinggi (higher level of engagement).

Selain terdapat manfaat, tentu saja ada juga tantangan yang mungkin akan dihadapi oleh pengajar maupun peserta didik. Berikut adalah beberapa tantangan tersebut:

1. Ketika motivasi dan pengaturan diri (self-regulation) peserta didik masih rendah

Ketika terjadi suatu perubahan, tentu saja kita harus mengalami penyesuaian terhadap perubahan tersebut. Peserta didik akan membutuhkan dukungan untuk dapat melakukan penyesuaian terhadap konsep pembelajaran flipped classroom ini, karena konsep ini memerlukan tingkat motivasi dan pengaturan diri (self-regulation) yang tinggi. Mereka yang sudah terbiasa dengan konsep pembelajaran konvensional ketika mereka berada di tingkat pendidikan sebelumnya akan mengalami sedikit hambatan ketika menerapkan konsep flipped classroom. Sehingga, penyesuaian tersebut harus didampingi dan diarahkan oleh pengajar.

2. Diperlukan adanya kemampuan mengelola waktu yang baik

Pengajar dapat memberikan tips manajemen waktu untuk membantu peserta didik dalam mengalokasikan waktu yang cukup untuk mengerjakan tugas pra-kelas. Pengajar tidak dapat mengasumsikan bahwa setiap peserta didik datang ke kelas dengan kondisi sepenuhnya siap dengan materi yang akan dibahas. Pengajar harus melakukan tinjauan ulang sejauh mana mereka memahami materi yang sudah diunggah pada platform digital misalnya dengan menggunakan kuis pada awal perkuliahan tatap muka. Karena kemampuan setiap peserta didik berbeda satu dengan yang lainnya, pengajar perlu untuk memastikan bahwa materi yang diberikan cukup baik sehingga semua peserta didik memperoleh pengetahuan yang mereka butuhkan untuk menyelesaikan tugas aktif di kelas. Peserta didik, pada akhirnya, akan menyadari manfaat dari kegiatan pra-kelas.

3. Pengenalan tenaga pengajar dengan teknologi

Peran teknologi dalam metode flipped classroom ini sangat besar, sehingga pengajar diharapkan mampu untuk mengimplementasikan penggunaan teknologi dengan baik, misalnya mengelola kelas online di sistem manajemen pembelajaran (LMS), memberikan kuis online, memilih atau membuat materi pembelajaran yang menarik, serta menyunting video sehingga pelatihan dan dukungan lebih lanjut oleh institusi mungkin diperlukan saat mereka bereksperimen dengan pendekatan baru ini. Waktu yang dibutuhkan untuk mempersiapkan suatu materi juga lebih banyak, namun hal tersebut dapat dianggap sebagai investasi karena pada angkatan selanjutnya apabila pengajar  tersrbut mengajarkan materi yang sama, mereka tidak perlu memproduksi media tersebut kembali, melainkan menggunakan materi yang sudah ada di ‘bank materi’ mereka.

4. Memastikan peserta didik aktif pada pembelajaran di luar kelas

Pengajar harus dapat memonitor siswa selama tahap persiapan asinkron untuk mengukur apakah mereka dapat mengatasi tugas-tugas yang berorientasi praktik di kelas nantinya. Untuk dapat melakukan ini, pengajar mungkin perlu memberikan waktu ekstra untuk mengakses sistem manajemen pembelajaran (LMS) sehingga mereka dapat tetap mengikuti perkembangan peserta didiknya. Rancanglah tugas yang dapat melibatkan peserta didik secara aktif dan membimbing mereka menuju hasil pembelajaran (learning outcomes). Hal ini dilakukan untuk memonitor pemahaman seperti misalnya tugas membuat catatan (note-taking), atau membuat forum untuk memungkinkan adanya diskusi seputar materi. Dalam pendekatan ini, fasilitas internet juga menjadi hal yang esensial dan wajib ada. Sehingga, peserta didik harus memiliki akses untuk dapat terkoneksi dengan internet.

Hubungan Flipped Classroom dengan pelaksanaan 3C di Sanata Dharma

Pelaksanaan metode flipped learning yang dikaitkan pada bloom taxonomy dalam proses pengajaran di kelas merupakan salah satu bentuk implementasi Pedagogi Ignasian yang dijiwai oleh Universitas Sanata Dharma. Gambar 3 merupakan perwujudan Pedagogi Ignasian untuk menciptakan 3C (Competence, Concience dan Compassion). Kontekstual dihadirkan melalui pengalaman belajar yang meliputi aksi nyata dan refleksi untuk kemudian mengevaluasi sebagai bentuk perbaikan berkelanjutan.

Proses tersebut dapat dilaksanakan melalui strategi pembelajaran yang aktif, yang harapannya dapat mencapai penguasaan aspek ilmu pengetahuan (competence), pemahaman mengenai etika dan kemandirian (concience), dan kesadaran akan empati terhadap orang lain (compassion). Pedagodi reflektif akan memberikan kontribusi pada pengembangan proses pembelajaran secara holistik masing-masing mahasiswa melalui pengembangan competence, concience, dan compassion (Kristanti, 2016).

Metode flipped learning yang berfokus pada peserta didik inilah, penerapan pedagodi reflektif dapat mencapai siklus pembelajaran dalam skala konsep hingga evaluasi. Pengajar perlu memberikan ruang dan kesempatan kepada mahasiswa untuk secara penuh terlibat dalam proses pembelajaran dengan memberikan kepercayaan dan tanggung jawab pembelajaran yang dilengkapi dengan pendekatan yang tepat dan pemantauan terstruktur, mengarah pada pengembangan yang lebih menyeluruh (Kristanti, 2016). Cura personalis dapat dicapai dengan kesuksesan metode ini dimana pengajar dapat lebih berinteraksi dengan peserta didik dan dapat lebih mengenal mereka secara personal.

Gambar 4. Siklus Pedagogi Ignasian

 

Pada akhirnya, keseluruhan proses ini merupakan salah satu bentuk implementasi Pedagogi Ignasian yang merupakan dasar dalam segala kegiatan yang dilaksanakan di lingkungan Universitas Sanata Dharma, berawal dari kontekstual, pengalaman, aksi, refleksi untuk kemudian dilaksanakan evaluasi sebagai bentuk perbaikan berkelanjutan. Pelaksanaan metode flipped classroom dirancang sedemikian rupa untuk mewujudkan nilai-nilai yang dihidupi yaitu 3C (Competence, Concience dan Compassion). Diharapkan pula pelaksanann program ini sungguh dapat mengintegrasikan nilai-nilai akademik dan nilai humanis, maka terwujudnya generasi yang cerdas dan humanis yang menjadi slogan Universitas Sanata Dharma. (Mega Wulandari, S.Pd., M.Hum.)

Daftar Pustaka

  • Bergmann, J & Sams A (2012) Flip your classroom: talk to every student in every class every day. International Society for Technology in Education.
  • Garrison, D. R., Anderson, T., & Archer, W. (1999). Critical inquiry in a text-based environment: Computer conferencing in higher education. The internet and higher education, 2(2-3), 87-105.
  • Koehler, M., & Mishra, P. (2009). What is technological pedagogical content knowledge (TPACK)?. Contemporary issues in technology and teacher education, 9(1), 60-70.
  • Kristanti, F. (2016). Process-Based Learning And Reflection Journal To Promote Learners’autonomy In Stylistic Writing Class. Leksika: Jurnal Bahasa, Sastra dan Pengajarannya, 10(1).
  • McLaughlin, J. E., Roth, M. T., Glatt, D. M., Gharkholonarehe, N., Davidson, C. A., Griffin, L. M., Mumper, R. J. (2014). The flipped classroom: A course redesign to foster learning and engagement in a health professions school. Academic Medicine, 89(2), 236-243.
  • Network, F. L. (2014). What is flipped learning? The four pillars of FLIP. Flipped Learning Network, 501 (c), 2.
  • Shulman, L.S. (1986). Those who understand: Knowledge growth in teaching. Educational Researcher, 15, 4-14.
  • Subandowo, M. (2017). Peradaban Dan Produktivitas Dalam Perspektif Bonus Demografi Serta Generasi Y Dan Z. Sosiohumanika: Jurnal Pendidikan Sains Sosial Dan Kemanusiaan, 10(November):191–208.
  • Tung, Lai Cheng and Jean Dennis Comeau. 2014. “Demographic Transformation in Defining Malaysian Generations: The Seekers (Pencari), The Buiders (Pembina), The Developers (Pemaju), and Generation Z (Generasi Z).” International Journal of Academic Research in Business and Social Sciences 4(4):383–403.

 


Link Back : https://www.usd.ac.id/pusat/ppip/2020/05/04/konsep-dasar-metode-flipped-classroom/